BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan sains memiliki peran yang penting dalam
menyiapkan anak memasuki dunia kehidupannya. Sains pada hakekatnya
merupakan sebuah produk dan proses. Produk sains meliputi fakta, konsep,
prinsip, teori dan hukum. Sedangkan proses sains meliputi cara-cara memperoleh,
mengembangkan dan menerapkan pengetahuan yang mencakup cara kerja, cara
berfikir, cara memecahkan masalah, dan cara bersikap. Oleh karena itu, sains
dirumuskan secara sistematis, terutama didasarkan atas pengamatan eksperimen
dan induksi.
Gerakan reformasi dalam pembelajaran sains dan
teknologi di sekolah yang bertujuan untuk warga negara paham akan sains dan
teknologi (scientific and technological literacy), sebagaimana apa yang
telah dilakukan dan dimulai dalam dua dekade terakhir oleh negara-negara maju.
Perkembangan Iptek yang semakin pesat perlu perhatian
oleh guru dan peserta didik. Dalam hal ini peserta didik perlu dipersiapkan
untuk mengenal, memahami, dan menguasai Iptek dalam rangka meningkatkan kualitas
hidupnya. Persiapan sedini mungkin sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan
di masa depan yang semakin meningkat. Berbagai tantangan muncul, antara lain
menyangkut peningkatan kualitas hidup, pemerataan hasil pembangunan,
partisipasi masyarakat, dan kemampuan untuk mengembangkan sumber daya manusia.
Pendidikan IPA sebagai bagian dari pendidikan umumnya memiliki peran penting
dalam peningkatan mutu pendidikan, khususnya di dalam menghasilkan peserta
didik yang berkualitas, yaitu manusia yang mampu berfikir kritis, kreatif,
logis, dan berinisiatif dalam menanggapi isu di masyarakat yang diakibatkan
oleh dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam kurikulum pendidikan nasional tahun 2006,
pendidikan sains merupakan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pemberian mata pelajaran sains bagi anak dimaksudkan untuk
memperoleh kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi serta membudayakan
berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri. Prinsip pengembangan
kurikulum didasarkan bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk
mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian
tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik harus disesuaikan dengan
potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan
lingkungan.
Dalam realitasnya, ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang secara dinamis. Semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik
untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Menjamin relevansi dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya
kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena
itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir,
keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional mutlak
harus dilaksanakan.
Saat ini, Iptek sudah mengalami peningkatan. Namun
pembelajaran IPA masih didominasi dengan penggunaan metode ceramah atau metode yang
konvensional yang kegiatannya lebih berpusat pada guru (teacher centered).
Dalam hal ini tentu saja aktivitas siswa dapat dikatakan hanya mendengarkan
penjelasan guru dan mencatat hal-hal yang dianggap penting sehingga siswa
cenderung dituntut untuk membenarkan apa yang dikatakan oleh guru tanpa usaha untuk
membuktikan kebenarannya.
Dalam proses pembelajaran guru hanya menjelaskan IPA
sebatas produk (yang sudah ada) dan sedikit proses tanpa pembuktian. Salah satu
alasan yang menyebabkan adalah banyaknya materi yang harus dibahas dan
diselesaikan berdasarkan kurikulum yang berlaku. Padahal, dalam membahas IPA
tidak cukup hanya menekankan pada produk, tetapi yang lebih penting adalah
proses untuk membuktikan atau mendapatkan suatu teori atau hukum.
Dari pemikiran di atas, dapat dikemukakan bahwa
tantangan pembelajaran sains saat ini adalah perlu menyesuaikan dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dapat mengantisipasi masalah-masalah
sosial yang berkaitan dengan sains dan teknologi. Untuk kepentingan itu,
pembelajaran sains perlu dikaitkan dengan aspek teknologi dan masyarakat.
Pembelajaran yang mengkaitkan sains dengan teknologi dan masyarakat, dikenal
dengan pembelajaran dengan pendekatan sains, teknologi dan Masyarakat (STM)
atau Science, Technology, and Society (STS).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas,
masalah yang akan dikaji dalam makalah ini antara lain:
1.
Bagaimanakah hakekat pendekatan sains, teknologi dan
masyarakat dalam pembelajaran?
2.
Bagaimanakah implementasi pendekatan sains, teknologi
dan masyarakat dalam pembelajaran?
3.
Apa saja nilai tambah pendekatan sains, teknologi, dan
masyarakat dalam pembelajaran?
4.
Apa saja kritik dan permasalahan/kendala yang dapat
ditemukan dalam mengimplementasikan pendekatan sains, teknologi dan masyarakat?
5.
Bagaimana solusi terbaik agar pendekatan STM mampu
ditanamkan dengan baik di Indonesia?
C.
Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk:
1.
Mengetahui dan memahami hahekat pendekatan Sains,
Teknologi, dan Masyarakat yang sebenarnya.
2.
Mengetahui, memahami, dan dapat mengimplementasikan
pendekatan Sains, Teknologi, dan Masyarakat dalam proses pembelajaran.
3.
Mengetahui nilai tambah atau kelebihan penggunaan
pendekatan Sains, Teknologi, dan Masyarakat dalam pembelajaran.
4.
Mengetahui kritik, permasalahan/kendala dalam proses
penerapan pendekatan Sains, Teknologi, dan Masyarakat dalam pembelajaran.
5.
Dapat menemukan, memahami, dan mengaplikasikan solusi
agar pendekatan STM di Indonesia mampu ditanamkan dengan baik.
BAB II
PEMBAHASAN
Pendekatan Sains, Teknologi, dan
Masyarakat merupakan pendekatan pembelajran yang pada dasarnya membahas
penerapan sains dan teknologi dalam konteks kehidupan manusia sehari-hari. Oleh
karena itu, pendekatan Sains, Teknologi, dan Masyarakat disebut juga sebagi
pendekatan terpadu antara sains dan issue teknologi yang ada di masyarakat.
Denagn pendekatan ini siswa dikondisikan agar mau dan mampu menerapkan prinsip
sains untuk menghasilkan karya teknologi sederhana atau solusi pemikiran untuk
mengatur dampak negatif yang mungkin timbul akibat munculnya produk teknologi.
Dengan demikian guru sains dapat menggunakan pendekatan Sains, Teknologi, dan Masyarakat
untuk menanamkan pemahaman konsep dan pengembangannya untuk kemaslahatan
masyarakat.
A.
Hakekat Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat
dalam Pembelajaran
1. Latar Belakang Pengembangan Sains-Teknologi-Masyarakat
Pendekatan Sains, Teknologi dan masyarakat (STM)
adalah pengindonesiaan dari Science-Technology-Society (STS) yang
pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1980-an, dan
selanjutnya berkembang di Inggris dan Australia. National Science Teacher
Association atau NSTA, mendefinisikan pendekatan ini sebagai
belajar/mengajar sains dan teknologi dalam konteks pengalaman manusia. Dengan
volume informasi dalam masyarakat yang terus meningkat dan kebutuhan bagi
penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan hubungannya dengan kehidupan
masyarakat dapat menjadi lebih mendalam, maka pendekatan STM dapat sangat
membantu bagi anak. Oleh karena, pendekatan ini mencakup interdisipliner konten
dan benar-benar melibatkan anak sehingga dapat meningkatkan kemampuan anak.
Pendekatan ini dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan antara kemajuan
iptek, membanjirnya informasi ilmiah dalam dunia pendidikan, dan nilai-nilai
iptek itu sendiri dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Sains merupakan suatu tubuh pengetahuan (body of
knowledge) dan proses penemuan pengetahuan. Teknologi merupakan suatu
perangkat keras ataupun perangkat lunak yang digunakan untuk memecahkan masalah
bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Sedangkan masyarakat adalah sekelompok
manusia yang memiliki wilayah, kebutuhan, dan norma-norma sosial tertentu.
Sains, teknologi dan masyarakat satu sama lain saling berinteraksi. Pendekatan
STM dapat menghubungkan kehidupan dunia nyata anak sebagai anggota masyarakat
dengan kelas sebagai ruang belajar sains. Proses pendekatan ini dapat
memberikan pengalaman belajar bagi anak dalam mengidentifikasi potensi masalah,
mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah, mempertimbangkan solusi
alternatif, dan mempertimbangkan konsekuensi berdasarkan keputusan tertentu.
Pendidikan sains pada hakekatnya merupakan upaya
pemahaman, penyadaran, dan pengembangan nilai positif tentang hakekat sains
melalui pembelajaran. Sains pada hakekatnya merupakan ilmu dan pengetahuan
tentang fenomena alam yang meliputi produk dan proses. Pendidikan sains
merupakan salah satu aspek pendidikan yang menggunakan sains sebagai alat untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional secara umum dan tujuan pendidikan sains
secara khusus, yaitu untuk meningkatkan pengertian terhadap dunia.
Untuk penyusunan materi pendidikan sains, hendaknya
merupakan akumulasi dari konten, proses, dan konteks. Konten, menyangkut hal-hal
yang berkaitan dengan fakta, definisi, konsep, prinsip, teori, model, dan
terminologi. Proses, berkaitan dengan metodologi atau keterampilan untuk
memperoleh dan menemukan konten. Konteks, berkaitan dengan kepentingan sosial
baik individu maupun masyarakat atau kepentingan-kepentingan lainnya yang
berhubungan dengan perlunya pengembangan dan penyesuaian pendidikan sains untuk
menghadapi tantangan kemajuan zaman. Benneth et. al. (2005)
melaporkan, bahwa pendekatan STM merupakan pendekatan berbasis konteks yang
memiliki peranan yang sangat penting dalam memotivasi anak dan mengembangkan
keaksaraan ilmiah mereka berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap
anak laki-laki dan perempuan yang berkemampuan rendah. Dengan demikian, tujuan
pendekatan STM adalah untuk membentuk individu yang memiliki literasi sains dan
teknologi serta memiliki kepedulian terhadap masalah masyarakat dan
lingkungannya (Pudjiadi, 2005).
Menurut Rusmansyah (2003) dalam Aisyah
(2007), pendekatan STM dilandasi oleh tiga hal penting yaitu:
1.
Adanya keterkaitan yang erat antara sains, teknologi
dan masyarakat.
2.
Proses belajar-mengajar menganut pandangan
konstruktivisme, yang pada pokoknya menggambarkan bahwa anak membentuk atau
membangun pengetahuannya melalui interaksinya dengan lingkungan.
3.
Dalam pengajarannya terkandung lima ranah, yang terdiri
atas ranah pengetahuan, ranah sikap, ranah proses sains, ranah kreativitas, dan
ranah hubungan dan aplikasi.
2.
Pendekatan STM di Indonesia
Gerakan
pendekatan STM di Indonesia menurut Hidayat(1997) merupakan respon atas kondisi
dan situasi pendidikan yang pada umumnya menunjukkan bahwa:
i.
Siswa pada umumnya kurang dapat menerapkan konsep dan
proses sains yang mereka pelajari di sekolah dalam kehidupan mereka sehari-hari.
ii.
Otoritas guru
yang menonjol, dimana guru menganggap dirinyassumberformasi yang harus
dipelajari siswa.
iii.
Pembeljaran sains pada umumnya dilakukan di dalam kelas
dan guru jarang menggunakan lingkungan sebagai sumber belajarnya.
Di Indonesia gagasan penerapan
pendekatan STM sebetulnya sudah dimunculkan dalam Garis-Garis Besar Program
Pengajaran materi sains Kurikulum 1994. Namun, dalam praktek di lapangan masih
jarang bahkan bisa dikatakan belum diterapkan. Penerapan pendekatan STM pada
umumnya masih terbatas pada tahap uji coba/penelitian-penelitian.
Pentingnya untuk mengembangkan
pembelajaran sains lewat pendekatan STM tertuang kembali dalam Kurikulum
Berbasis Kompetensi yang secara resmi mulai diterapkan tahun 2004. Dalam
kurikulum tersebut secara eksplisit ditegaskan bahwa Salingtemas (Sains,
lingkungan, teknologi, dan masyarakat) merupakan salah satu aspek yang harus
dipelajari siswa dala pembelajaran sains.
3.
Keterkaitan sains dan teknologi dengan
pendekatan STM
Ada keterkaitan antara metode inkuiri
dalam sainsdengan strategi desain dalam teknologi, serta antara penjelasan
dalam sains dengan solusi teknologi. Dalam arti teknologi tergantung pada
keakuratan informasi sains dan tidak bisa bertentangan dengan
hukum/prinsip-prinsip sains. Sebaliknya sains tergantung pada teknologi sebagai
penyedia sarana untuk melakukan observasi-observasinya. Di samping itu, sains
dan teknologi keduanya memberikan hasil yang bermanfaat bagi masyarakat.
Manfaat langsung dari sains adalah memberikan pemahaman yang benar tentang
alam, sedang manfaat langsung dari solusi teknologi adalah memfasilitasi atau
memberikan jalan/kemudahan bagi manusia untuk merespon lingkungannya.
Di sisi lain, salah satu tujuan pembelajaran
sains adalah menanamkan pengetahuan dan konsep sains yang bermanfaat dalam
kehidupan sehari-hari, maka materi pembelajaran sains juga harus membumi.
Artinya tidak asing bagi siswa sehingga fakta/fenomenanya dapat dengan mudah
dijumpai dan diaplikasikan dalam kehidupannya.
Begitu juga teknologi seharusnya
tidak lepas dari kehidupa masyarkat, artinya teknologi yang dikembangkan harus
mempertimbangkan aspek sosial dan etika sehingga memberikan manfaat yang
berarti bagi masyarakat. Oleh karena itu, agar tujuan tersebut dapat
terealisasi maka sejak awal perlu dikembangkan pendekatan STM dalam
pembelajaran sains.
4.
Karakteristik pendekatan
Sains-Teknologi-Masyarakat
Pendekatan STM merupakan inovasi
pembelajaran sains yang berorientasi bahwa sains sebagai bidang ilmu tidak
terpisahkan dari realitas kehidupan masyarakt sehari-hari dan melibatkan siswa
secara aktif dalam mempelajari konsep-konsep sains yang terkait. Paradigma yang
digunakan dalam pendekatan STM menurut Aikenhead (1994) adalah:
a.
Pembelajaran sains dipandang sebagai usaha manusia yang
berkembang melalui aktivitas manusia dan akan mempengaruhi hidup manusia.
b.
Memandang pendidikan sains dalam konteks yang lebih
luas, tidak hanya menyangkut konsep-konsep yang ditemukan oleh para ilmuwan
saja tetapi juga menyangkut proses yang digunakan dalam menemukan konsep yang
baru.
c.
Setiap pokok bahasan dikaitkan denagn konteks sosial
dan teknologi sehingga siswa diharapkan dapat melihat adanya integrasi antara
alam semesta sebagai sains dengan lingkungan buatan manusia sebagai teknologi
dan dunia sehari-hari para siswa sebagai lingkungan sosial masyarakat.
Alam merupakan lingkungan manusia
yang nmerupakan sumber berbagai macam pengetahuan (sains) di samping itu, dalam
melangsungkan kehidupannya manusia akan mendayagunakan alam.. untuk dapat
memanfaatkan alam tersebut, manusia perlu menciptakan teknologi. Teknologi
diciptakan pada dasarnya untuk memudahkan manusia dalam pencapaian tujuan
hidupnya yang dibuat dengan menerapkan prinsip-prinsip sain. Agar kelangsungan
hidup manusia dapaty terjaga, maka dalam menciptakan dan menggunakan teknologi
tersebut harus memperhatikan dampak atau pengaruhnya bagi masyarakat luas.
Program pembelajaran dengan
pendekatan STM pada umumnya mempunyai karakteristik, sebagai berikut:
a) Identifikasi masalah-masalah
setempat.
b) Penggunaan sumber daya setempat yang
digunakan dalam memecahkan masalah.
c) Keikutsertaan yang aktif dari siswa
dalam mencari informasi untuk memecahkan masalah.
d) Perpanjangan pembelajaran di luar
kelas dan sekolah.
e) Fokus kepada dampak sains dan
teknologi terhadap siswa.
f) Isi dari pembelajaran bukan hanya
konsep-konsep saja yang harus dikuasai siswa dalam kelas.
g) Penekanan pada keterampilan
proses di mana siswa dapat menggunakan dalam memecahkan masalah.
h) Penekanan pada kesadaran karir
yang berkaitan dengan sains dan teknologi.
i) Kesempatan bagi siswa untuk
berperan sebagai warga negara identifikasi bagaimana sains dan teknologi
berdampak di masa depan.
j) Kebebasan atau otonomi dalam
proses belajar.
B.
Implementasi pendekatan Sains,
Teknologi dan Masyarakat dalam Pembelajaran
Menurut Poedjiadi (2005), pelaksanaan pendekatan STM
dapat dilakukan melalui tiga macam strategi, yaitu:
Strategi pertama, menyusun topik-
topik tertentu yang menyangkut konsep-konsep yang ingin ditanamkan pada peserta
didik. Pada strategi ini, di awal pembelajaran (topik baru) guru memperkenalkan
atau menunjukkan kepada peserta didik adanya isu atau masalah di lingkungan
anak atau menunjukkan aplikasi sains atau suatu produk teknologi yang ada di
lingkungan mereka. Masalah atau isu yang ada di lingkungan masyarakat dapat
pula diusahakan agar ditemukan oleh anak sendiri setelah guru membimbing dengan
cara-cara tertentu. Melalui kegiatan eksperimen atau diskusi kelompok yang
dirancang oleh guru, akhirnya dibangun atau dikonstruksi pengetahuan pada anak.
Dalam hal ini, pengetahuan yang berbentuk konsep-konsep.
Strategi kedua, menyajikan suatu topik
yang relevan dengan konsep-konsep tertentu yang termasuk dalam standar
kompetensi atau kompetensi dasar. Pada saat membahas konsep-konsep tertentu,
suatu topik relevan yang telah dirancang sesuai strategi pertama dapat
diterapkan dalam pembelajaran. Dengan demikian program STM merupakan suplemen
dari kurikulum.
Strategi ketiga, mengajak anak untuk
berpikir dan menemukan aplikasi konsep sains dalam industri atau produk
teknologi yang ada di masyarakat di sela-sela kegiatan belajar berlangsung.
Contoh-contoh adanya aplikasi konsep sains, isu atau masalah, sebaiknya
diperkenalkan pada awal pokok bahasan tertentu untuk meningkatkan motivasi
peserta didik mempelajari konsep-konsep selanjutnya, atau mengarahkan perhatian
peserta didik kepada materi yang akan dibahas sebagai apersepsi.
Untuk mengimplementasikan pendekatan STM dalam
pembelajaran, Dass (1999) dalam Raja (2009) mengemukakan empat langkah
kegiatan kelas yang secara komprehensif merupakan upaya mengembangkan pemahaman
murid dan pelaksanaan suatu proyek STM yang berhubungan preservice
guru. Keempat langkah pembelajaran tersebut adalah fase invitasi atau undangan
atau inisiasi, eksplorasi, mengusulkan penjelasan dan solusi, dan mengambil
tindakan.
Invitation
(Fase Invitasi)
Pada Preservice teachers (PSTs) tahap ini, guru melakukan brainstorming
dan menghasilkan beberapa kemungkinan topik untuk penyelidikan. Topik dapat
bersifat global atau lokal, tetapi harus merupakan minat siswa dan memberikan
wilayah yang cukup untuk penyelidikan bagi siswa. Pada tahap ini dapat dipilih
salah satu dari alternative:
a.
guru mengemukakan issue atau masalh actual yang sedang
berkembang di masyarakat sekitar yang dapat diamati /dipahami oleh peserta
didik serta dapat merangsang siswa utnuk bisa ikut mengatasinya.
b.
Issue atau masalah digali dari pendapat atau keinginan
siswa dan yang ada kaitannya dengan konsep sains yang akan dipelajari.
Menurut Aisyah (2007), Apersepsi dalam
kehidupan juga dapat dilakukan, yaitu mengaitkan peristiwa yang telah diketahui
siswa dengan materi yang akan dibahas. Dengan demikian, tampak adanya
kesinambungan pengetahuan, karena diawali dengan hal-hal yang telah diketahui
siswa sebelumnya dan ditekankan pada keadaan yang ditemui dalam kehidupan
sehari-hari.
Fase Exploration Eksplorasi
Pada tahap ini, guru dan siswa mengidentifikasi daerah kritis
penyelidikan. Siswa melalui aksi dan reaksinya sendiri berusaha
memahami/mempelajari situasi baru atau yang merupakan masalah baginya.
Data-data dan informasi dapat dikumpulkan melalui pertanyaan-pertanyaan atau
wawancara, kemudian menganalisis informasi tersebut. Data dan informasi
dapat pula diperoleh melalui telekomunikasi, perpustakaan dan sumber-sumber
dokumen publik lainnya. Dari sumber-sumber informasi, siswa dapat mengembangkan
penyelidikan berbasis ilmu pengetahuan untuk menyelidiki isu-isu yang berkaitan
dengan masalah ini. Pemahaman tentang hujan asam, misalnya, dilakukan dalam
laboratorium untuk menyelidiki sifat-sifat asam dan basa. Penyelidikan ini
memberikan pemahaman dasar untuk pengembangan, pengujian hipotesis, dan
megusulkan tindakan.
Menurut Aisyah (2007), tahap kedua ini merupakan proses pembentukan
konsep yang dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan dan metode. Misalnya
pendekatan keterampilan proses, pendekatan sejarah, pendekatan kecakapan hidup,
metode demonstrasi, eksperimen di labolatorium, diskusi kelompok, bermain peran
dan lain-lain. Pada akhir tahap kedua, diharapkan melalui konstruksi dan
rekonstruksi siswa menemukan konsep-konsep yang benar atau konsep-konsep para
ilmuan. Selanjutnya berbekal pemahaman konsep yang benar siswa melanjutkan
analisis isu atau masalah yang disebut aplikasi konsep dalam kehidupan.
Proposing Explanations and
Solutions (Fase Mengusulkan Penjelasan dan Solusi)
Pada tahap ini, siswa mengatur dan mensintesis
informasi yang mereka telah kembangkan sebelumnya dalam penyelidikan.
Berdasarkan hasil eksplorasinya, siswa menganalisis terjadinya fenomena dan
mendiskusikan bagaimana cara pemecahan masalahnya. Dengan kata lain siswa
mengenal dan membangun konsep baru yang sesuai denagn kondisi lingkungan
setempat. Untuk memantapkan konsep yang diperoleh siswa tersebut, guru perlu
memberikan umpan balik/peneguhan.
Proses ini termasuk komunikasi lebih lanjut dengan
para ahli di lapangan, pengembangan lebih lanjut, memperbaiki, dan menguji
hipotesis mereka, dan kemudian mengembangkan penjelasan tentatif dan proposal
untuk solusi dan tindakan. Hasil tersebut kemudian dilaporkan dan disajikan
kepada rekan-rekan kelas untuk menggambarkan temuan, posisi yang diambil, dan
tindakan yang diusulkan.
Apabila selama proses pembentukan konsep dalam tahap
ini tidak tampak ada miskonsepsi yang terjadi pada siswa, demikian pula setelah
akhir analisis isu dan penyelesaian masalah, guru tetap harus melakukan
pemantapan konsep melalui penekanan pada konsep-konsep kunci yang penting
diketahui dalam bahan kajian tertentu. Hal ini dilakukan karena konsep-konsep
kunci yang ditekankan pada akhir pembelajaran akan memiliki retensi lebih
lama dibandingkan dengan kalau tidak dimantapkan atau ditekankan oleh guru pada
akhir pembelajaran.
FaseTaking Action Mengambil
Tindakan
Berdasarkan temuan yang dilaporkan dalam fase ketiga
(mengajukan penjelasan dan solusi), siswa menerapkan temuan-temuan mereka dalam
beberapa bentuk aksi sosial. Jika tindakan ini melibatkan masyarakat sebagai
pelaksana, misalnya membersihkan daerah berbahaya anak dapat menghubungi
pejabat publik yang dapat mendukung pikiran dan temuan mereka. Anak menyajikan
informasi ini kepada rekan-rekan kelas mereka. Proposal ini akan dimasukkan
sebagai tindakan follow up.
Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran tersebut di
atas, agar proses pembelajarannya dapat berjalan baik maka menurut Aikenhead
(1994) terlebih dahulu perlu diidentifikasi/dirumuskan empat aspek yaitu:
a.
Fungsi/tujuan: yaitu menyangkut apa yang ingin dicapai
dengan pembelajaran sains melalui pendekatan STM tersebut.
b.
Content/isi: yaitu menyangkut materi apa yang akan
dipelajari.
c.
Struktur: yaitu menyangkut bagaimana sains dan
teknologi akan diintegrasikan.
d.
Sequence/urutan: yaitu menyangkut bagaimana
operasionalisasi pembelajaran STM tersebut didesain/dirancang.
Untuk merealisasikan maksud tersebut, strategi belajar
yang dianjurkan meliputi kegiatan:
a.
Brainstorming (curah pendapat tentang masalah atau
topik yang akan dipelajari).
b.
Merumuskan permasalahan secara spesifik.
c.
Curah pendapat tentang sumber belajar yang akan
digunakan.
d.
Menggunakan sumber belajar dalam pengumpulan informasi
atau data.
e.
Menganalisa, mensintesa, dan mengevaluasi.
f.
Melakukan aksi.
Untuk
mengungkap penguasaan pengetahuan sains dan teknologi anak selama pembelajaran,
dapat dilakukan melalui suatu evaluasi. Evaluasi merupakan suatu pengukuran
atau penilaian terhadap sesuatu prestasi atau hasil yang telah dicapai.
Mengingat penguasaan sains dan teknologi dalam hal ini merupakan penguasaan
sains dan teknologi yang berkaitan dengan aspek masyarakat, maka kriteria
pengembangan evaluasinya dapat mengacu kepada pengembangan evaluasi dalam unit
STM. Menurut Varella (1992) dalam Widyatiningtyas (2009), evaluasi
dalam STM meliputi ruang lingkup aspek:
1.
Pemahaman konsep sains dalam pengalaman kehidupan
sehari-hari.
2.
Penerapan konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan
sains untuk masalah-masalah teknologi sehari-hari.
3.
Pemahaman prinsip-prinsip sains dan teknologi yang
terlibat dalam alat-alat teknologi yang dimamfaatkan masyarakat.
4.
Penggunaan proses-proses ilmiah dalam pemecahan
masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
5.
Pembuatan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan
kesehatan, nutrisi, atau hal-hal lain yang didasarkan pada konsep-konsep
ilmiah.
Menurut Yagger (1994), penilaian terhadap proses pembelajaran yang
menggunakan pendekatan STM dapat dilakukan dengan menggunakan lima domain,
yaitu:
- Konsep, yang meliputi penguasaan konsep dasar, fakta dan
generalisasi.
- Proses, penggunaan proses ilmiah dalam menemukan konsep atau
penyelidikan.
- Aplikasi, penggunaan konsep dan proses dalam situasi yang
baru atau dalam kehidupan.
- Kreativitas, pengembangan kuantitas dan kualitas pertanyaan,
penjelasan, dan tes untuk mevalidasi penjelasan secara personal.
- Sikap, mengembangkan perasaan positif dalam sains, belajar
sains, guru sains dan karir sains.
C. Nilai Tambah Pendekatan STM dalam Pembelajaran
Dengan mencermati karakteristik pendekatan STM seperti
yang diuraikan sebelumnya, maka secara konseptual pendekatan STM memiliki
beberapa nilai tambah, baik yang merupakan sasaran utama maupun yang berbentuk
dampak pengiring. Nilai tambah yang merupakan sasaran utama antara lain:
1. Lewat
pendekatan STM dapat membuat pengajaran sains lebih bermakna karena langsung
berkaitan dengan permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari serta
membuka wawasan siswa tentang peranan sains dalam kehiduan nyata.
2. STM
dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk mengaplikasikan konsep, ketrampilan
proses, kreativitas, dan sikap menghargai produk teknologi, serta bertanggung
jawab atas masalah yang muncul di lingkungan.
3. Pendekaatan
STM yang berorientasi pada “hand on activities” membuat siswa dapat menikmati
kehgiatan-kegiatan sains dengan perolehan pengetahuan yang tidak mudah
terlupakan. Dengan demikian, dapat juga digunakan untuk menarik minat siswa
dalam mempelajari sains.
4. STM
dapat memperluas wawasan siswa tentang keterkaitan sains dengan bidang studi
lain. Hal ini dapat terwujud karena dalam memecahkan permasalahan lam di
lingkungan siswa tidak cukup hanya mempelajari bidang sains saja, melainkan
perlu berbagai bidang studi yang lain.
5. Lewat
pendekatan STM dapat pula dikembangkan pembelajaran terpadu atau “Integrated
Learning”, lintas bidang studi atau “Across Curriculum”. STM juga
dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas “Total Curriculum” atau
pembelajaran secara menyeluruh.
Ada pun dampak pengiring dari
penerapan STM adalah akibat drai beragamnya kegiatan yang dilakukan dan
penggunaan berbagai macam cara penilaian pencapaian keberhasilan belajar siswa.
Misalnya adanya:
a.
Kegiatan kerja kelompok dapat memupuk kebiasaan saling
kerjasama antarsiswa.
b.
Kegiatan diskusi dapat memacu siswa untuk berani
mengemukakan pendapat sekaligus melatih ketrampilan siswa untuk dapat
berkomunikasi dengan baik. Selain itu juga akan terbentuk sikap terbuka atau
menghargai pendapat orang lain.
c.
Penciptaan suatu karya atau pengaplikasian suatu
gagasan dapat menimbulkan rasa bangga pada diri siswa bahwa dirinya dapat
berperan atau bermanfaat baik bagi masyarakat maupun bagi perkembangan sains
dan teknologi.
d.
Penggunaan cara evaluasi yang kontinu dan beragam dapat
mendorong siswa untuk serius atau perhatian dalam mengikuti pembelajaran,
karena penilaian tidak hanya menyangkut kemampuan kognitif saja melainkan juga
partisipasi dan kreativitasnya. Di samping itu siswa akan merasa bahwa semua
aktivitas atau gagasan yang ia lontarkan akan mendapat apresiasi, sehingga
tidak ada keterlibatan yang mubadzir.
Penelitian yang telah dilakukan oleh
para pakar pendidikan dan sains menunjukkan bahwa siswa-siswa yang belajar
sains dengan pendekatan STM dapat menguasai konsep sebanyak siswa-siswa yang
belajar secara konvensional, dan menyimpan lebih lama konsep-konsep tersebut di
dalam struktur kognitif mereka. Adapun keefektifan STM dalam penguasaan konsep
adalah sebagai berikut:
1)
Pendekatan STM sama efektifnya seperti pendekatan lain
untuk penguasaan konsep di semua jenjang.
2)
Pendekatan STM efektif untuk menstimulasi siswa-siswa
mempelajari konsep-konsep.
3)
Pendekatan STM untuk jangka pendek baik untuk
penguasaan konsep.
4)
Siswa-siswa STM mendapatkan nilai sebaik siswa-siswa
konvensional dalam tes standart.
D.
Kritik, Permasalahan/kendala dalam Penerapan
pendekatan STM.
Beberapa penelitian terhadap
pendekatan STM memang menunjukkan adanya nilai tambah yang bermacam-macam.
Secara umum kecuali mengaktifkan atau memandirikan siswa juga mendorong
kreativitas guru, sehingga dapat mewujudkan pembelajaran yang PAKEM
(Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, Efisien, dan Menyenangkan). Namun,
sepanjang penerapannya tidak semulus yang diharapkan. Beberapa kritik
mempertanyakan atau meragukan efektivitas dan efisiensi dari pendekatan STM.
Pembelajaran sains dinilai “miskin” konsep sains, karena pembahasannya secara
interdisipliner maka pada umumnya tinjauan sains cenderung hanya superficial
saja. Di samping itu, sains juga dipandang sangat “membahayakan” bila
meleburkan sains dengan politik, ekonomi, moral, maupun hukum. Dikatakan juga
bahwa belum tentu kebenaran sains sejalan dengan kebijakan politik, ekonomi,
atau kebenaran moral dan hukum suatu negara.
Di Indonesia, dalam pelaksanaannya
masih mengalami hambatan. Kendala utama adalah dari pihak guru. Budaya guru
Indonesia yang cenderung mengajar seperti apa yang pernah mereka terima dari
gurunya dan enggan untuk berkreasi/inovasi merupakan faktor sulitnya menerapkan
pendekatan STM. Mitchener & Anderson (1989) dalam Raja (2009), melaporkan hasil penelitian tentang
perspektif guru dalam penyusunan dan pelaksanaan sebuah pembelajaran dengan
pendekatan STM bahwa guru memiliki hambatan dalam penerapan pendekatan ini dan
menunjukkan kekhawatiran berupa ketidaknyamanan dengan pengelompokan,
ketidakpastian tentang evaluasi, andfrustrasi tentang populasi siswa,
dan kebingungan peran guru. Hasil-hasil temuan tersebut akan berguna dalam
menyelenggarakan program pengembangan guru.
Kekhawatiran terhadap konten dapat
terjadi karena persentasi waktu yang rendah bagi peran guru dalam transfer
pengetahuan kepada anak. Guru lebih banyak berperan dalam mengarahkan
pengetahuan anak pada upaya penemuan masalah dan konseptualisasi berdasarkan
disiplin ilmu. Penanaman konsep lebih banyak dilakukan pada momen-momen
tertentu secara tepat, sehingga memiliki tingkat retensi yang lebih lama.
Bagi sekolah dengan populasi siswa
yang tinggi dalam kelas, dapat menjadi masalah tersendiri bagi guru. Jika
kelompok yang dibentuk dalam kelas banyak, guru akan kewalahan dalam
pendampingan kelompok dan pembimbingan kajian masalah. Sedangkan ketika
kelompok dikurangi (populasi dalam kelompok tinggi) konsekuensinya dapat
terjadi peran yang tidak efektif bagi anak. Sehingga penggunaan pendekatan STM,
harus dirancang untuk melibatkan pihak lain dalam proses pembelajaran.
Kompleksitas masalah dan sumber
informasi yang dapat terlibat dalam pembelajaran STM, harus dapat disikapi
secara profesional oleh guru. Ketepatan masalah yang dipilih oleh siswa untuk
dikaji sangat ditentukan oleh peran guru dalam mengekspose fakta-fakta.
Penentuan prosedur analisis dan sumber data yang akurat, memerlukan bimbingan
dan arahan dari guru. Demikian pula, dalam hal kajian data dan
konseptualisasinya dibutuhkan peran guru dalam memberikan klarifikasi dan
penguatan atas hasil-hasil kerja dari tiap kelompok. Kompleksitas masalah dan
sumber informasi juga berimplikasi pada beragamnya fokus anak dalam mengkaji
konsep pengetahuan. Konsekuensinya, dibutuhkan kecermatan dalam menyusun alat
evaluasi terutama pada domain penguasaan konsep. Penggunaan alat penilaian yang
variatif, dapat meningkatkan akurasi data yang dibutuhkan dalam mengevaluasi
perkembangan anak.
Aisyah (2007), mengemukakan empat
hambatan pembelajaran dengan pendekatan STM, yaitu waktu, biaya, kompetensi
guru, dan komunikasi dengan stakeholder (orang tua, masyarakat, dan
birokrat). Waktu merupakan faktor penting untuk menentukan materi-materi apa
yang akan diajarkan pada siswa. Pelaksanaan seluruh fase pembelajaran pada
konten tertentu, kadang-kadang membutuhkan waktu yang panjang sehingga
memerlukan analisa yang baik untuk memilih dan mengalokasikan waktu untuk
implementasinya. Siswa membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengumpulkan
data dari nara sumber secara mendetail. Oleh karena itu, siswa harus kerjasama
dengan baik antar anggota kelompok agar data yang diperoleh dapat maksimal.
Beberapa sekolah memilih waktu di sore hari atau jalur ekstrakurikuler untuk
penerapan STM agar tidak terganggu dengan aktivitas belajar yang lain. Bahkan,
gelar kasus (show case) yang dilanjutkan dengan refleksi
diri, biasanya dilaksanakan pada akhir semester.
Kompetensi guru sangat penting dalam
pembelajaran STM, terutama dalam penguasaan materi inti, problem solving
dan hubungan interpersonal. Umumnya guru belum memiliki pengetahuan yang baik
tentang pendekatan STM sehingga penerapan pendekatan ini masih sangat jarang
ditemukan. Selain itu, paradigma guru dalam menginterpretasikan dan
mengembangkan kurikulum, masih berbasis konten sehingga guru merasa dituntut
untuk menyampaikan materi tepat pada waktunya dan lupa berinovasi dalam
pembelajaran.
Hambatan lain dalam penerapan
pendekatan ini adalah siswa belum terbiasa untuk berpikir kritis dan belajar
mengambil pengalaman di lapangan, sehingga dibutuhkan kesabaran dan ketekunan
guru untuk mengarahkan dan membimbing siswa dalam pembelajaran.
Selain itu, faktor yang menyebabkan
pelaksanaan pembelajaran STM tidak lancar adalah sistem penilaian yang
diterapkan secara nasional yang cenderung berorientasi pada aspek kognitif.
Apalagi kalau sistem penerimaan siswa baru di tingkat SMP dan SMA yang masih
mengandalkan nilai UAN, begitu juga dengan seleksi mahasiswa baru yang hanya
berdasarkan tes kognitif saja membuat guru tidak tergerak untuk menerapkan
pembelajaran ynag menekankan penilaian non-tes (portofolio dan observasi
kegiatan) seperti yang diberlakukan dalam pendekatan STM.
E.
Solusi Terbaik agar Pendekatan STM Mampu
Ditanamkan dengan Baik di Indonesia
Agar
pelaksanaan penerapan pendekatan STM dapat berkembang di Indonesia perlu
dilakukan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Sosialisasi pendekatan STM disertai dengan pelatihan
guru untuk merancang dan mempraktekkannya.
2.
Pengembangan sumber belajar baik secara tertulis maupun
alam sekitar yang menunjang kelancaran pembelajaran.
3.
Modifikasi/perubahan sistem penilaian secara menyeluruh
di setiap sector pendidikan tidak hanya bertolak pada tes pencapaian aspek
kognitif saja, porsi yang memadai untuk hasil penilaian non-tes.
4.
Biaya merupakan faktor yang penting dalam implementasi
STM. Biaya dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran dengan
pendekatan STM dari mulai identifikasi masalah, sampai pelaksanaan gelar kasus
(show case). Umumnya, pihak sekolah belum mengalokasikan biaya untuk
kegiatan pembelajaran STM. Oleh karena itu, pihak sekolah khusunya hendaknya
memberi dorongan moril maupun materil untuk terselenggaranya penerapan STM ini.
Dalam hal dorongan materil, dapat dirintis pembiayaan penerapan metode ini
secara swadaya.
5.
Kerja sama antara sekolah dengan lembaga-lembaga
terkait diperlukan pada saat siswa merencanakan untuk mengunjungi lembaga
tertentu atau meninjau kawasan yang menjadi tanggung jawab lembaga tertentu.
Misalnya, mengunjungi rumah sakit daerah, observasi pada pabrik produk bahan
makanan dan sebagainya. Untuk kelancaran kegiatan, anak perlu dibekali surat
pengantar dari sekolah, atau sekolah melakukan pemrosesan izin ke lembaga yang
terkait sebelum kegiatan dilaksanakan. Selain itu, komunikasi dengan orang tua
perlu diintensifkan. Orang tua perlu diberi pemahaman sehingga seluruh
aktivitas anak yang menyita waktu dapat dimaklumi atau mendapat support
dari orang tua.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan penbahsan yang telah dibahas
pada bab II di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa:
1.
Sains-Teknologi-Masyarakat (STM) yang diterjemahkan dari akronim bahasa
Inggris STS (“Science-Technology-Society”) adalah gerakan pembaharuan
dalam pendidikan IPA. Pembaharuan ini mula-mula terjadi di Inggris dan Amerika, sekarang sudah merebak ke negara-negara lain.
2.
Pendekatan STM pada hakekatnya dimaksudkan untuk
menjembatani kesenjangan antara kemajuan iptek, membanjirnya informasi ilmiah
dalam dunia pendidikan, dan nilai-nilai iptek itu sendiri dalam kehidupan siswa
sehari-hari sebagai anggota masyarakat.
3.
Implementasi pendekatan STM, dapat dilakukan melalui
empat fase yaitu invitasi, eksplorasi, mengusulkan penjelasan dan solusi, dan
mengambil tindakan.
4.
Secara konseptual pendekatan STM memiliki beberapa
nilai tambah, baik yang merupakan sasaran utama maupun yang berbentuk dampak
pengiring.
5.
STM sebagai salah satu pendekatan dalam pembelajaran
mempunyai permasalahan atau kendala dalam pelaksanaannya
6.
Pendekatan STM harus mampu ditanamkan dengan baik di
Indonesia.
B. Saran
STM sebagai pendekatan dalam pembelajaran harus mampu ditanamkan dengan
baik di Indonesia meskipun banyak permasalahan atau kendala yang dihadapai
dalam proses pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah.
2007. Penerapan Metode Pembelajaran Portofolio dengan Pendekatan Sains,
Teknologi dan Masyarakat (STM) pada Mata Pelajaran Ekonomi Kelas X SMA Negeri
15 Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Asy’ari,
Maslichah. 2006. Penerapan Pendekatan
Sains, Teknologi dan Masyarakat. Universitas Sanata Darma. Yogyakarta.
Bennett,
Judith, S. Hogarth, F. Lubben . 2003.
Review “A systematic review of the
effects of context-based and Science-Technology-Society (STS) approaches in the
teaching of secondary science”. EPPI-Centre
University of London.
Dari
http://eppi.ioe.ac.uk/
, diakses tanggal 6 Oktober 2009.
Bennett,
Judith, S. Hogarth, F. Lubben dan A. Robinson. 2005.
Review “The effects of
context-based and Science-Technology-Society (STS) approaches in the teaching
of secondary science on boys and girls, and on lower-ability pupils”. EPPI-Centre University of London. Dari
http://eppi.ioe.ac.uk/
, diakses tanggal 6 Oktober 2009.
Poedjiadi,
Anna. 2005. Sains Teknologi Masyarat: Model Pembelajaran
Kontekstual Bermuatan Nilai. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Sumintono,
Bambang. 2008.
Mengemas Sains, Teknologi dan Masyarakat dalam Pengajaran
Sekolah. Dari
http://deceng.wordpress.com/
, diakses 25 September 2009.
Widyatiningtyas,
Reviandari. 2009. Pembentukan Pengetahuan Sains, Teknologi dan Masyarakat dalam
Pandangan Pendidikan IPA
. EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya.
http://educare.e-fkipunla.net.
Diakses 25 September 2009.
Yager,
Robert E. 1994. Assessment Result with the Science/Technology/Society
Approach. Science and Children (Journal). Pdf. File.